ALLAHU AKBAR! GAMBAR INI HANYALAH SATU TITIK JIKA DIBANDINGKAN DENGAN SELURUH LANGIT CIPTAAN ALLAH S.W.T.

MENGAKUI KELEMAHAN DIRI SENDIRI KEPADA ALLAH S.W.T.



Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

Beruntunglah orang yang bersikap adil di hadapan Rabbnya. Sehingga dia pun sanggup mengakui kebodohan dirinya sendiri tentang ilmu yang dia miliki. Betapa bodohnya dia tentang cacat-cacat yang ada di dalam amalnya. Betapa bodohnya dia tentang aib-aib yang ada pada dirinya sendiri. Dan betapa jelek kualiti pengabdiannya kepada Allah. Begitu zalim mu’amalahnya kepada Allah.

Kalau pun Allah menghukumnya kerana dosa yang dia perbuat, maka dia memandangnya sebagai bentuk keadilan dari-Nya. Dan apabila dia tidak dihukum oleh-Nya maka baginya itu merupakan kurnia dari-Nya. Kalau dia boleh melakukan kebaikan maka dia pun memandang hal itu sebagai salah satu bentuk kurnia dan sedekah Allah kepada dirinya. Dan kalau kemudian Allah menerima amalnya maka itu adalah kenikmatan dan sedekah yang kedua. Kalaupun seandainya Allah menolak amalnya maka itu berarti amal (jelek) semacam itu memang tidak layak dipersembahkan kepada-Nya.

Kalau dia melakukan keburukan maka dia memandangnya sebagai akibat dari terlepasnya pertolongan dan perhatian Allah kepadanya, dan juga kerana Allah tidak lagi menjaga dirinya, dan itu adalah tindak keadilan-Nya kepada dirinya. Maka dia boleh menyaksikan betapa perlunya dia kepada Rabbnya, dan betapa zalim ia kepada dirinya sendiri. Maka kalau Allah berkenan mengampuni dosanya, maka itu semata-mata terjadi kerana kebaikan, kedermawanan dan kemurahan dari-Nya.

Inti dari persoalan ini adalah dia sentiasa memandang Rabbnya selalu berbuat kebaikan. Adapun dirinya dia pandang sebagai orang yang berbuat kejelekan, meremehkan, atau telah meninggalkan kewajiban. Sehingga dia dapat melihat bahawa segala hal yang menggembirakannya merupakan bahagian dari kurnia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan untuknya. Sedangkan segala sesuatu yang membuatnya susah adalah akibat dosanya sendiri dan bentuk keadilan yang Allah terapkan baginya…” (al-Fawa’id, hal. 36).

SOLATLAH WALAUPUN JIKA ANDA TIDAK SIHAT



Dari Imran bin Hushain r.a., Sesungguhnya Nabi S.A.W. telah bersabda:
"Lakukanlah solat dangan berdiri, jika tidak kuasa, lakukanlah dengan duduk, jika tidak kuasa, lakukanlah dengan berbaring dan jika tidak kuasa, maka dengan isyarat."
(Hadis riwayat Bukhari).

Hadis ini menunjukkan bahawa solat harus dilakukan menurut kekuatannya. Jika masih kuat berdiri maka harus dengan berdiri, jika tidak kuat, dengan duduk, jika tidak kuat, dengan berbaring dan jika masih tidak kuat, dengan memberi isyarat.

Memahami isi hadis ini dapat dimengerti bahawa agama tidak menekan umatnya melainkan menurut batas kemampuannya dan solat adalah wajib didirikan walau dalam keadaan bagaimanpun.

BEZA ANTARA SYARAT SAH SOLAT DAN RUKUN SOLAT




Definasi Syarat Solat: Perkara-perkara diluar solat yang membuat solat tidak sah tanpa perkara-perkara itu.

Dengan kata lain, syarat solat adalah persiapan yang dilakukan sebelum solat berkenaan dengan waktu, tempat dan kesucian.

Syarat-syarat solat (8 perkara):

1) Islam
2) Berakal sihat
3) Mumayyiz (mampu membezakan antara baik dan buruk)
4) Masuk waktu solat
5) Suci daripada hadas
6) Suci daripada najis
7) Menutup aurat
8) Menghadap kiblat

Definasi Rukun Solat: Rukun ialah bahagian yang dengannya tertegaklah sesuatu. Rukun solat tidak boleh ditinggalkan sama ada sengaja atau tidak sengaja. Apabila salah satu rukun ditinggalkan, solat itu tidak sah (batal).

Rukun Solat (13 perkara):

1) Berdiri tegak bagi yang mampu
2) Takbiratul Ihram
3) Membaca al-fatihah pada setiap rakaat
4) Rukuk
5) Iktidal
6) Sujud di atas tujuh anggota sujud
7) Duduk diantara dua sujud
8) Tamakninah dalam setiap rukun solat
9) Tasyahud akhir
10) Duduk tasyahud akhir
11) Selawat ke atas Nabi Muhammad S.A.W.
12) Mengucap salam
13) Tertib




MENCINTAI SAUDARA SEAGAMA KERANA ALLAH S.W.T.



Imam Muslim meriwayatkan di dalam Sahihnya, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata; Rasulullah S.A.W. bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah berfirman; ‘Di manakah orang-orang yang saling mencintai karena kemuliaan-Ku. Pada hari ini Aku akan memberikan naungan untuk mereka di bawah naungan-Ku, hari ketika tidak ada naungan selain naungan-ku.” (HR. Muslim no. 2566 dalam Kitab Al-Birr wa Shilah wal Adab, bab Fi fadhli hubbi fillah, lihat Sahih Muslim cet. Darul Kutub Ilmiyah, hal. 996).

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Nabi S.A.W. menceritakan, “Ada seorang lelaki yang mengunjungi saudaranya di suatu daerah lain. Maka Allah mengirim malaikat untuk mengintai perjalanannya. Ketika lelaki itu bertemu dengan sosok penjelmaan malaikat tersebut, malaikat itu bertanya kepadanya, “Anda hendak kemana?”. Lelaki itu menjawab, “Saya ingin menemui seorang saudara –seagama- saya yang ada di daerah ini.” Malaikat itu bertanya, “Apakah anda mengharapkan tambahan nikmat (dunia) dengan menemuinya?”. Dia menjawab, “Tidak. Hanya saja saya ingin mengunjunginya karena saya mencintainya kerana Allah ‘azza wa jalla.” Malikat itu pun berkata, “Sesungguhnya aku dikirim oleh Allah untuk menemuimu dan memberitakan kepadamu bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu telah mencintainya karena diri-Nya.”(HR. Muslim no. 2567 dalam Kitab Al-Birr wa Shilah wal Adab).

Oleh sebab itulah memboikot (tidak bertegur sapa) saudara sesama muslim lebih dari tiga hari –tanpa haq- merupakan perbuatan yang dapat merusak kecintaan ini.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari r.a., Rasulullah S.A.W. bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim tidak bertegur saudaranya lebih dari tiga malam. Ketika mereka berdua bertemu, yang satu berpaling dan yang satunya lagi juga berpaling. Yang terbaik di antara mereka berdua adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab [6077] dan Muslim dalam kitab Al-Birr wa Shilah wal Adab [2560]).

Dalam riwayat Muslim, Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma meriwayatkan Nabi S.A.W. bersabda, “Tidak halal bagi seorang yang beriman tidak bertegur saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Birr wa Shilah wal Adab [2561]).

Demikian pula, buruk sangka dan mencari-cari kesalahan saudaranya merupakan perbuatan yang merusak ukhuwah islamiyah.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah S.A.W. bersabda, “Jauhilah oleh kamu prasangka, sesungguhnya prasangka itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kamu saling mencari-cari aib dan saling memata-matai, jangan saling berlumba demi menjatuhkan, jangan saling dengki, jangan saling benci, dan jangan saling membelakangi. Jadilah kamu wahai hamba-hamba Allah, sebagai orang-orang yang bersaudara.” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab [6066] dan Muslim dalam Kitab Al-Birr wa Shilah wal Adab [2563]).

DOSA YANG PALING MENGERIKAN



Rasulullah S.A.W. pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kamu aku kabarkan tentang dosa-dosa yang paling besar ?” (beliau ulangi pertanyaan itu tiga kali) Maka para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Berbuat syirik terhadap Allah dan derhaka kepada kedua orang tua…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah S.A.W. bersabda,”Dosa paling besar adalah engkau mengangkat sekutu bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata : Syirik bermakna nashib (bagian) hal itu terjadi apabila ada sesuatu selain Allah yang dipersekutukan bersama-Nya maka itu bererti dia telah memberikan bagian (ibadah) kepada selain-Nya. Syirik menjadi larangan terbesar karena hak paling agung adalah hak Allah ta’ala. Sedangkan hak Allah ta’ala adalah diesakan dalam hal ibadah. Oleh sebab itu apabila seseorang mempersekutukan Allah dengan selain-Nya maka dia telah menyia-nyiakan hak yang paling agung. (Hushulul ma’mul, hal. 47)

Syirik Akbar

Syirik akbar adalah perbuatan atau keyakinan yang membuat pelakunya keluar dari Islam. Bentuknya ialah dengan menujukan salah satu peribadatan (lahir maupun batin) kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah, berkorban untuk jin, dan sebagainya. Apabila ia meninggal dan belum bertaubat maka akan kekal berada di dalam neraka.

Jenis-jenis syirik akbar :

Syirik dalam hal do’a

Iaitu perbuatan memanjatkan permohonan kepada selain Allah disamping kepada Allah.

Allah ta’ala berfirman yang ertinya,“Apabila mereka menaiki kapal (dan terombang-ambing di tengah samudera) maka merekapun berdo’a kepada Allah dengan ikhlas (tidak syirik sebagaimana ketika dalam kondisi tentram di darat). Kemudian tatkala Kami selamatkan mereka ke daratan maka merekapun berbuat syirik.” (QS. Al-‘Ankabuut : 65)

Termasuk kategori syirik ini adalah : meminta perlindungan (isti’adzah) kepada selain Allah dalam perkara yang hanya dikuasai oleh Allah, meminta pertolongan (isti’anah) kepada selain Allah, meminta dihilangkan bala (istighatsah) kepada selain Allah..

Syirik dalam hal niat dan keinginan

Iaitu melakukan suatu amal ibadah dengan niat karena selain Allah. Seperti orang yang beramal akhirat semata-mata untuk meraih keuntungan duniawi.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Barangsiapa yang mengharapkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka Kami akan penuhi keinginan mereka dengan membalas amal itu di dunia untuk mereka dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak meraih apa-apa ketika di akhirat melainkan siksa neraka dan lenyaplah semua amal yang mereka perbuat selama di dunia dan sia-sialah segala amal usaha mereka.” (QS. Huud : 15-16)

Syirik dalam hal ketaatan

Iaitu mentaati selain Allah untuk berbuat durhaka kepada Allah. Seperti contohnya mengikuti para tokoh dalam hal mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah.

Allah ta’ala berfirman yang ertinya,“Mereka telah menjadikan para pendeta (ahli ilmu) dan rahib (ahli ibadah) mereka sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah, begitu pula (mereka sembah) Al Masih putera Maryam. Padahal mereka itu tidak disuruh melainkan supaya menyembah sesembahan yang satu. Tidak ada sesembahan yang hak selain Dia, Maha suci Dia (Allah) dari segala bentuk perbutan syirik yang mereka lakukan.” (QS. At-Taubah : 31)

Syirik dalam hal kecintaan

Iaitu mensejajarkan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Dan di antara manusia ada orang yang mengangkat sekutu-sekutu selain Allah yang mereka cintai sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165)

Kalau mensejajarkan cintanya kepada selain Allah dengan cintanya kepada Allah saja sudah begitu besar dosanya, lalu bagaimana lagi jika seseorang justru lebih mencintai pujaannya lebih dalam daripada kecintaannya kepada Allah ? Lalu bagaimana lagi orang yang sama sekali tidak menaruh rasa cinta kepada Allah ?!

Syirik Ashghar

Syirik ashghar iaitu perbuatan atau keyakinan yang mengurangi keutuhan tauhid. Apabila seseorang terjerumus di dalamnya maka dia menanggung dosa yang sangat besar, bahkan dosa besar yang terbesar di bawah tingkatan syirik akbar dan di atas dosa-dosa besar lain seperti mencuri dan berzina. Namun orang yang melakukannya tidak sampai keluar dari Islam. Dan apabila meninggal dalam keadaan berbuat syirik ashghar ini maka pelakunya termasuk orang yang diancam tidak diampuni dosanya dan terancam dijatuhi siksaan di neraka, meskipun tidak akan kekal di sana. Syirik ashghar ini terbagi menjadi syirik zhahir (jelas kelihatan) dan syirik khafi (tersembunyi/samar)

Syirik zahir

Jenis ini meliputi ucapan dan perbuatan yang menjadi sarana menuju syirik akbar. Atau boleh juga diertikan dengan ucapan dan perbuatan yang disebut sebagai syirik oleh dalil-dalil syari’at akan tetapi tidak mencapai tingkatan tandid/persekutuan secara mutlak. Contohnya adalah : bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah.

Rasulullah S.A.W. bersabda,“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik.” (HR. Tirmidzi, beliau (Tirmidzi) menghasankannya, dan dishahihkan juga oleh Al-Hakim)

Contoh lainnya adalah : mengatakan maa syaa’a Allahu wa syi’ta (apa pun yang Allah kehendaki dan yang kamu inginkan). Ketika ada seseorang yang mengatakan ucapan itu kepada beliau, maka Rasulullah S.A.W. marah dan bersabda,“Apakah engkau hendak menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah ?! Katakanlah Apa pun yang Allah kehendaki, cukup itu saja” (HR. Nasa’i)

Atau mengatakan : ‘Seandainya bukan karena doktor maka saya tidak akan sembuh’, dan lain sebagainya. Adapun yang berupa perbuatan ialah seperti memakai azimat untuk tolak bala apabila meyakininya sebagai sebab perantara saja untuk mewujudkan keinginannya. Akan tetapi jika dia meyakininya sebagai faktor utama penentu tercapainya tujuan maka status perbuatan itu berubah menjadi syirik akbar dan mengeluarkan pelakunya dari lingkaran Islam.

Syirik khafi

Jenis ini terletak di dalam gerak-gerik hati manusia. Ia dapat berujud rasa ingin dilihat dan menginginkan pujian orang dalam beramal (riya’) atau ingin didengar (sum’ah). Seperti contohnya; membagus-baguskan gerakan atau bacaan shalat karena mengetahui ada orang yang memperhatikannya. Contoh lainnya adalah bersedekah karena ingin dipuji, berjihad karena ingin dijuluki pemberani, membaca Qur’an karena ingin disebut Qari’, mengajarkan ilmu karena ingin disebut sebagi ‘alim, dll. Dengan catatan dia masih mengharapkan keridhaan Allah dari perbuatannya itu. Amal yang tercampuri syirik semacam ini tidak akan diterima oleh Allah. Dan apabila ternyata dia hanya mencari tujuan-tujuan hina itu maka perbuatan yang secara lahir berupa amal shalih itu telah berubah menjadi syirik akbar, sebagaimana halnya riya’nya orang munafik.

Rasulullah S.A.W. pernah bersabda,“Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Maka beliau pun ditanya tentangnya. Sehingga beliau menjawab,“Iaitu riya’/ingin dilihat dan dipuji orang.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 951 dan Shahihul Jami’ no. 1551)

Rasulullah S.A.W. bersabda,“Binasalah hamba dinar, hamba dirham, hamba Khamishah, hamba Khamilah. Jika dia diberi maka dia senang tapi kalau tidak diberi maka dia murka. Binasa dan amat merugilah dia..” (HR. Bukhari) (lihat At-Tauhid li shaffits tsalits al ‘aali, hal. 11-12)

DETIK-DETIK HARI KEHANCURAN (QIAMAT)


Allah S.W.T berfirman di dalam Surah takwir ayat 1 - 14 (yang bermaksud):

``Apabila matahari digulung"
``Dan apabila bintang-bintang berjatuhan"
``Dan apabila gunung-gunung dihancurkan"
``Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan)"
``Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan"
``Dan apabila lautan dijadikan meluap"
``Dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh)"
``Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya"
``Kerana dosa apakah dia dibunuh"
``Dan apabila catatan-catatan amal (amalan perbuatan manusia) dibuka"
``Dan apabila langit dilenyapkan"
``Dan apabila neraka jahim dinyalakan"
``Dan apabila syurga didekatkan".
``Setiap diri akan tahu apa yang telah dikerjakannya"..

Allah S.W.T berfirman di dalam Surah Infitar ayat 1 - 5 (yang bermaksud):

``Apabila langit terbelah"
``Dan apabila bintang-bintang gugur berterabur"
``Dan apabila lautan pecah bercampur-baur"
``Dan apabila kubur-kubur dibongkarkan"
``Mengetahuilah tiap-tiap diri akan apa yang dikerjakannya dan ditinggalkannya".

MENGENAL ALLAH S.W.T. SEBELUM KITA MENINGGAL DUNIA



Para ulama mengatakan, ”Orang-orang yang malang diantara penduduk dunia itu, mereka telah keluar darinya (mati) dalam keadaan belum sempat merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.Maka ditanyakan kepadanya, ”Apakah itu?’ Dia menjawab, ”Iaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 246)

Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah prinsip terpenting bagi setiap insan. Kerana tujuan hidupnya tidak akan tercapai apabila dia tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.

Allah S.W.T berfirman (yang bermaksud), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz Dzariyaat [51] : 56).

Bagaimana mungkin seseorang boleh menyembah Allah S.W.T. dengan baik jika dia tidak mengenal Allah S.W.T. dan tidak tahu apa kewajiban yang harus dia tunaikan kepada-Nya?


Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengenal Allah ta’ala adalah asas agama. Dan seorang insan tidak akan mampu mencapai hakikat ajaran agamanya kecuali setelah mengilmui tentang Allah ta’ala…” (Hushul al-Ma’mul, hal. 14)

Hakikat ma’rifatullah

Diriwayatkan bahawa Ahmad bin ‘Ashim Al Anthaki mengatakan, ”Saya tidak ingin mati sebelum mengenal Tuhanku. Dan bukanlah mengenal-Nya adalah sekadar dengan meyakini keberadaan-Nya, akan tetapi pengenalan yang sesungguhnya adalah ketika kamu mengenal-Nya maka kamupun merasa malu kepada-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 246)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahawa yang dimaksud dengan ma’rifatullah ialah, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan hati. Yang dengan pengenalan itu hamba menerima semua yang disyari’atkan oleh-Nya, sehingga ia tunduk dan patuh kepada-Nya. Dengannya dia berhukum dengan menerapkan syari’at-Nya yang telah dibawa oleh utusan-Nya yaitu Muhammad S.A.W..” (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 19)

Dua peringkat ma’rifatullah

Ibnul Qayyim rahimahullah [al-Fawa’id, hal. 163] menerangkan,
Mengenal Allah subhanahu wa ta’ala ada dua peringkat :

Pertama, ma’rifah (pengenalan) yang berupa pengakuan (tentang Allah). Maka ini adalah sesuatu yang dikerjakan oleh semua orang, yang baik maupun yang kurang baik, orang yang taat maupun orang yang suka bermaksiat.

Kedua, ma’rifah yang melahirkan perasaan malu terhadap-Nya, kecintaan kerana-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, kerinduan hati untuk bersua dengan-Nya, perasaan takut kepada-Nya, keinginan kuat untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya, ketenangan dan ketenteraman bersama-Nya, meninggalkan (ketergantungan hati kepada) makhluk dan bergegas menuju kepada-Nya.

ALLAH S.W.T SENTIASA MENGAWASI KITA



Allah S.W.T. berfirman (yang bermaksud), ”Sesungguhnya Allah sentiasa mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa’ [4] : 1)

Rasulullah S.A.W. bersabda, ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalau engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia selalu melihatmu.” (HR. Muslim)

Abu Sulaiman rahimahullah mengatakan, ”Sesungguhnya orang yang benar-benar rugi itu adalah orang yang menampak-nampakkan amal kebaikannya di hadapan orang ramai sementara dia justru berterus terang berbuat kejelekan tatkala menyendiri dengan Dzat Yang lebih dekat dengan dirinya daripada urat nadinya sendiri.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 213)

Pada suatu saat tersebar berita kepada Abu Bakar r.a. tentang pujian orang ramai terhadap dirinya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, ”Ya Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka katakan. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab az-Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim, hal. 119)

Yahya bin Mu’adz rahimahullah mengatakan, ”Bukanlah orang yang jujur seorang yang mengaku mencintai Allah akan tetapi tidak menjaga aturan dan larangan-larangan-Nya.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 95).

Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, ”Ada tiga perkara yang sulit dilakukan : bersikap dermawan dalam keadaan miskin, bersikap wara’ (berhati-hati dan menjauhi keharaman) ketika bersendirian, dan berterus terang dengan kebenaran di hadapan orang yang menjadi tumpuan harapan dan rasa takut.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 211).

al-Junaid rahimahullah pernah ditanya : apakah yang boleh membantu seseorang agar boleh membantu dirinya untuk senantiasa menundukkan pandangan? Maka beliau menjawab, ”iaitu dengan pengetahuanmu bahawa penglihatan Allah kepada dirimu lebih mendahului daripada pandanganmu kepada sesuatu yang kau lihat.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 212).

Abud Darda’ r.a. mengatakan, ”Hendaknya kamu merasa takut dilaknat oleh hati orang-orang yang beriman dalam keadaan dia tidak sedar. Dia melakukan kemaksiatan kepada Allah tatkala sendirian kemudian Allah pun menanamkan rasa benci kepadanya di dalam hati orang-orang yang beriman.” (Jami’ al-‘Ulum, hal. 213).

MENANGIS KERANA TAKUT KEPADA ALLAH S.W.T.



Mu’adz r.a. suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Kerana Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk syurga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.

al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku kuatir esok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”

Abu Musa al-Asya’ri r.a. suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sehingga air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang yang mendengar pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.

Abu Hurairah r.a. menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis kerana dunia yang akan ku tinggalkan ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara boleh jadi nanti aku harus mendaki jalan ke syurga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.

Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah hairan dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”

Rasulullah S.A.W. juga bersabda, “Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (Hadis Riwayat. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).

TANGISAN AIR MATA RASULULLAH S.A.W.

Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah S.A.W.?”.

Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’

Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’

Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bahagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggutnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena titisan air mata]!”.

Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan azan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah S.A.W menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’.

Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya malam tadi telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh malang orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! iaitu ayat (yang artinya),

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pertukaran malam dan siang, sungguh terdapat ayat-ayat (tanda-tanda) bagi 'ulul albab' (ahli fikir).” (QS. Ali Imran : 190).”


(Hadis Riwayat. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).

ALLAH S.W.T MAHA MELIHAT


Allah S.W.T. bersifat Basyar ertinya bahawa Allah Maha Melihat apa sahaja yang ada di alam ini. Allah S.W.T dapat melihat segala gerak geri hamba-hamba-Nya. Meskipun hamba-hamba-Nya beramal dalam keadaan sembunyi-sembunyi, namun Allah S.W.T dapat melihatnya dengan jelas dan terang.

Penglihatan Allah S.W.T itu tidaklah sama dengan penglihatan yang ada pada makhluk ciptaan-Nya. Penglihatan pada makhluk berhajatkan kepada sesuatu alat yang dapat membantunya seperti mata, cahaya dan sebagainya. Namun Allah S.W.T. tidak berhajat kepada sesuatu bendapun dalam melihat segala sesuatu.


Allah S.W.T. melihat dengan sendirinya dan tidak memerlukan bantuan makhluk atau alam ini sama sekali.

Firman Allah S.W.T. (yang bermaksud):
"Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Al Hujuraat, 18).

Segala aktiviti yang terjadi di alam ini, baik terang mahupun yang gelap, yang besar mahupun yang kecil, yang nyata, mahupun yang ghaib tidak akan luput daripada penglihatan Allah S.W.T.


Keyakinan dengan sifat Allah Maha Melihat ini menjadikan insan-insan yang beriman bertambah takut dan bertaqwa kepada Allah S.W.T. kerana mereka mengetahui bahawa Allah sentiasa melihat amalan yang dikerjakannya.

Hati manusia menjadi damai dan tenteram dengan menanamkan keyakinan bahawa Allah S.W.T bersifat Maha Melihat. Jiwanya sentiasa terbimbing dengan jalan yang lurus dan ia sentiasa menjaga dirinya dari terjatuh kejurang kemaksiatan.


Mustahil bagi Allah S.W.T jika mempunyai sifat buta. Kerana sifat yang lemah itu hanya dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya.

Firman Allah S.W.T (yang bermaksud):
"Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu." (Al Mulk, 19).